Apa itu bloatware? Temannya software dan hardware kah? Istilah ini sendiri sebenarnya sudah ada sebelum era kejayaan sistem operasi Android. Mungkin banyak di antara kita yang belum mengetahui tentang istilah pada android yang satu ini, maka dari itu untuk mengetahui lebih lanjut tentang apa itu bloatware, yuk simak penjelasan pada artikel yang ada di bawah ini!
Pengertian Bloatware
Bloatware merupakan aplikasi yang sejak awal sudah terinstall pada perangkat atau device tertentu ( komputer atau PC ) yang sangat jarang digunakan bahkan bahkan terbilang tidak berguna bagi pemakai perangkat tersebut.
Memiliki smartphone baru tentu menyenangkan. Namun, yang menyebalkan adalah kehadiran aplikasi tertentu dalam ponsel baru atau yang biasa disebut dengan bloatware ini.
Bloatware merupakan aplikasi yang terpasang secara otomatis pada suatu perangkat. Suka atau tidak, berguna atau tidak, aplikasi-aplikasi ini secara otomatis harus diterima para pengguna ponsel baru.
Jauh sebelum adanya ponsel pintar, bloatware sudah lebih dulu ada di komputer. Adanya bloatware yang bersemayam di komputer maupun ponsel pintar tak terpisahkan dengan urusan uang atau bisnis aplikasi antara pengembang dan pemilik merek sebuah gadget itu sendiri.
Bloatware atau yang juga biasa disebut junkware ini bisa menghabiskan 20%-30% memori internal smartphone dan menguras RAM meski tidak kita gunakan.
Bloatware ini ada di sistem operasi baik Android maupun iOS. Bukan hanya produsen smartphone yang memasukkan aplikasi bawaan, Google pun biasanya menyematkan aplikasi buatannya, seperti Duo, Play Music, Play Movies, dan lainnya. Apple juga memuat beberapa aplikasi yang tidak dapat dihapus, termasuk Stocks, Weather, dan Map.
Biasanya bloatware ini di install oleh perusahaan yang memproduksi perangkat itu sendiri dengan kepentingan tertentu, contohnya adalah kontrak dengan pihak-pihak yang berkepentingan dengan perusahaan tersebut, biasanya kontrak dengan operator seluler dan sebagainya.
Beberapa aplikasi yang termasuk ke dalam bloatware ini mungkin sebenarnya bermanfaat, tetapi–lebih banyak aplikasi yang tidak akan pernah kita gunakan. Pembuat perangkat menambahkannya dengan harapan pengguna akan menyukainya dan tidak ingin beralih ke produsen lain.
Meskipun dianggap kurang bermanfaat, jumlah bloatware yang dipasang terhitung tidak sedikit. Setiap ponsel pintar dari setiap pabrikan berbeda-beda memasangkan sejumlah bloatware dalam perangkatnya.
Salah satu contohnya adalah Samsung Galaxy S8, salah satu ponsel pintar yang mengusung 37 aplikasi pre-installed, istilah lain dari bloatware. Contoh lainnya adalah LG G6 yang memiliki 16 bloatware yang bermanfaat atau tidak, langsung diterima oleh pembelinya sejak pertama kali ponsel pintar baru ke tangan konsumen.
Apakah Bloatware Berbahaya?
Mungkin ada di antara kita yang bertanya-tanya, apakah bloatware ini berbahaya? Jawabannya mudah, tentu saja tidak. Karena aplikasi yang termasuk ke dalam bloatware ini dimasukkan oleh perusahaan yang merancang produk tersebut, maka sangat tidak mungkin perusahaan pembuat membahayakan produk buatannya sendiri.
Namun, keberadaan bloatware ini tentu akan mengganggu kita sebagai pengguna. Berikut adalah beberapa hal yang membuat keberadaan bloatware ini cukup mengganggu kita sebagai pengguna:
Alasan Mengapa Bloatware Mengganggu Pengguna
- Bloatware membuat penyimpanan perangkat menjadi cukup penuh.
- Bloatware biasanya berisi aplikasi yang jarang atau bahkan tidak pengguna gunakan.
Apakah Bloatware Bisa Dihapus?
Karena keberadaannya yang cukup mengganggu, tentu saja kita semua pernah berpikiran untuk menghapus aplikasi yang termasuk bloatware ini. Bisakah bloatware dihapus? Jawabannya tentu saja bisa.
Kita bisa menghapus atau meng-uninstall aplikasi ini dengan cara biasa. Tapi, ada pula beberapa dari aplikasi tersebut termasuk aplikasi sistem (system app) sehingga kita tidak bisa menghapusnya dengan cara biasa. Kita tetap bisa menghapus aplikasi sistem tersebut.
Namun, cara paksa menghapus bloatware ini cukup sulit dilakukan, bahkan dapat menyebabkan sistem dalam sebuah perangkat menjadi terancam. Pilihan terbaik yang dapat kita–pengguna–lakukan adalah sebatas melakukan disable saja bloatware ini.
Keberadaan bloatware ini memang cukup membingungkan, karena bukan hanya sekadar soal bisa dihapus atau tidak. Secara umum, aplikasi-aplikasi yang masuk kategori bloatware, lebih jarang dipakai pemilik ponsel pintar. Seperti riset pada tahun 2014 yang dilakukan oleh sebuah firma analisis bernama Strategy Analytics.
Riset tersebut menyatakan bahwa dari 250 unit Samsung Galaxy S3 dan S4, aplikasi-aplikasi bloatware di ponsel pintar tersebut seperti Chat On, S Memo, dan S Voice rata-rata hanya digunakan oleh penggunanya selama kurang dari 7 menit. Berbanding sangat jauh dengan rata-rata penggunaan aplikasi semacam YouTube yang mencapai angka 149 menit saat riset itu.
Irfan Asrar, peneliti keamanan ponsel pintar dari perusahaan keamanan perangkat mobile, Appthority mengatakan pada Wired bahwa kehadiran bloatware salah satunya disebabkan karena margin keuntungan yang kecil yang diperoleh pabrikan komputer atau ponsel. Aplikasi atau program yang dibuat pengembang akan dikenai biaya tertentu jika sang pengembang menginginkan aplikasinya secara otomatis hadir pada perangkat baru.
Patrick McDaniel dari Pennsylvania State University dalam tulisannya berjudul “Bloatware Comes to the Smartphone” mengungkap bahwa praktik menarik keuntungan dari pengembang pihak ketiga merupakan praktik umum yang dilakukan pabrikan. Cara ini pada akhirnya justru dapat pula memangkas harga jual perangkat pada konsumen.
Secara umum, pabrikan memang tak mengungkap berapa uang yang mereka peroleh atas memasangkan aplikasi pihak ketiga secara otomatis di perangkat yang mereka buat. Contoh yang hampir mirip terjadi antara Google dan Apple. Mengutip The Guardian, dalam sebuah dokumen pengadilan 2014, Google disebutkan membayar uang senilai $1 miliar kepada Apple untuk menjadikan mesin pencari milik mereka bertengger secara otomatis pada iPhone.
Di luar anggapan bloatware memberikan keuntungan bagi merek ponsel, tapi tak semua bloatware memberi untung bagi pabrikan ponsel pintar. Hal demikian umumnya disebabkan bloatware yang dipasang juga merupakan aplikasi buatan pabrikan sendiri. Samsung Galaxy S8 misalnya, pada perangkat tersebut bersemayam juga aplikasi-aplikasi buatan Samsung seperti Samsung Milk Music, Samsung Notes, dan Samsung Pay. Selain itu, bloatware pun dibuat oleh cukup banyak pihak selain pabrikan atau pengembang pihak ketiga.
Di sisi lain, kehadiran bloatware memang dirasa menguntungkan bagi pabrikan. Namun, bagi pengguna masalah bloatware jadi persoalan apabila aplikasi yang otomatis terpasang itu tak dibutuhkan oleh pemilik ponsel pintar.
Menurut Chasan Cavusoglu dalam jurnalnya berjudul “Bloatware and Jailbreaking: How Consumer-Initiated Modification Interacts with Product Pricing” mengatakan bahwa bloatware memiliki efek yang cukup negatif bagi pengguna. Baterai cepat habis, penggunaan data internet yang tak terkontrol, pengurangan kekuatan, serta risiko keamanan mengancam melalui bloatware. Bloatware pada Samsung Galaxy S8 menguras 45 persen memori internal ponsel itu.
Bahkan dalam kasus perangkat komputer, dikutip dari How To Geek, Microsoft pernah melakukan uji atas bloatware. Hasilnya, sebanyak 7 laptop uji coba yang menggunakan Windows 7 tanpa bloatware terpasang, memiliki peningkatan kecepatan hingga 40 persen, saat laptop tersebut pertama dihidupkan.
Kesimpulan
Setelah membaca artikel yang ada di atas, kita mengetahui bahwa bloatware merupakan aplikasi bawaan yang ada baik pada android, IOS bahkan PC sekalipun. Meski menyebalkan karena menghabiskan sebagian dari penyimpanan ponsel atau PC, bloatware ini merupakan aplikasi yang susah untuk dihilangkan.
Kehadiran bloatware jadi bukti bahwa pabrikan berkuasa atas apa yang mereka ciptakan dan jual ke konsumen. Sementara itu, konsumen tak ada pilihan terhadap bloatware yang datang sebagai tamu yang tak diundang.
Semoga apa yang sudah kita baca pada penjelasan yang ada di atas bisa bermanfaat untuk menambah wawasan kita semua, ya, sobat!